Biografi Buddha adalah kronologis kehidupan Sang Buddha yang disajikan dalam bentuk audio visual agar menarik, memudahkan dalam mengerti dan gampang diingat.
Dengan adanya daftar "Label" untuk mencari dan menemukan kata kunci
yang berhubungan dengan Biografi Buddha dengan cepat, sehingga maksud mengetahui, mencari informasi atau pun proses pembelajaran
dapat tercapai dengan lebih mudah. Adapun kekurangan yang terdapat pada
blog Biografi Buddha ini pasti ada, jadi kritik dan saran Anda sebagai
pembaca blog ini saya harapkan dan saya ucapkan terima kasih atas
perhatian Anda.
Sejarah Awal Leluhur Sang Buddha
Pada jaman
dahulu, daerah Majjhima desa (daerah tengah dari Jambudipa, sekarang
India) dihuni oleh suku bangsa Ariyaka yang datang dari Utara pegunungan
Himalaya. Di daerah lereng pegunungan Himalaya inilah terletak sebuah
kerajaan yang bernama Kerajaan Sakka (pada waktu itu di daerah tersebut
banyak sekali terdapat hutan pohon sakka).
Sejarah kerajaan tersebut menurut buku-buku kuno adalah sebagai berikut :
Seorang raja
bernama Raja Okkaka yang memerintah daerah tersebut mempunyai empat
orang putra (Okkamukha, Karanda, Hatthinika dan Sinipura) dan lima orang
putri.
Pada suatu hari
Ratu (yang juga adalah saudaranya) meninggal dunia dan Raja menikah lagi
dengan seorang gadis yang kemudian melahirkan seorang anak laki-laki.
Merasa gembira sekali Raja telah melepaskan kata-kata dan berjanji
kepada Ratu (yang baru) bahwa Beliau akan meluluskan semua permintaan
Ratu, apa pun juga yang akan dimintanya.
Dalam kesempatan yang baik itu Ratu memohon Kepada Raja agar anaknya yang baru dilahirkan diangkat menjadi Putra Mahkota.
Mendengar
permintaan Ratu tersebut, Raja menjadi kaget dan menolak untuk
meluluskan permohonan tersebut. Tetapi Ratu terus-menerus
merengek-rengek dan mengingatkan Raja kepada janjinya. Raja menjadi
serba salah. Karena malu untuk tidak menepati janji yang pernah
diberikannya, maka akhirnya Raja memanggil keempat orang putranya dan
memerintahkan untuk membawa saudara-saudara perempuannya pergi ke suatu
daerah lain untuk membangun sebuah negara baru.
Keempat putra
Raja tersebut tidak lama kemudian mohon diri dari Ayahandanya dan
bersama dengan saudari-saudarinya berangkat menuju sebuah hutan disertai
dengan rombongan ahli-ahli dalam berbagai bidang untuk membangun satu
negara baru.
Mereka memilih
sebuah hutan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon sakka di lereng gunung
Himalaya, di dekat tempat yang sejak lama dihuni oleh seorang petapa
bernama Kapila. Sebab itulah maka nama kota yang kemudian mereka bangun
diberi nama Kapilavatthu (vatthu = tempat).
Di tempat itulah
mereka menikah di antara mereka bersaudara, terkecuali putri yang tertua
yang menikah dengan raja dari Devadaha. Empat pasangan yang tersebut
duluan merupakan leluhur dari dinasti Sakya dan pasangan yang belakangan merupakan leluhur dari dinasti Koliya.
Pada suatu waktu
raja yang memerintah di Kota Kapilavatthu adalah Raja Jayasena yang
mempunyai seorang putra bernama Sihahanu dan seorang putri bernama
Yasodhara.
Setelah Raja
Jayasena meninggal dunia, Pangeran Sihahanu menjadi raja di Kapilavatthu
dan menikah dengan Putri Kancana, yaitu adik dari Raja Anjana dari
Devadaha. Mereka diberkahi dengan lima orang putra yang diberi nama
Suddhodana, Sukkodhana, Amitodhana, Dhotodana dan Ghanitodana dan dua
orang putri yang diberi nama Pamita dan Amita. Adik dari Raja Sihahanu,
yaitu Putri Yasodhara, menikah dengan Raja Anjana dari Devadaha dan
diberkahi dengan dua orang putra yang diberi nama Suppabuddha dan
Dandapani dan dua orang putri yang diberi nama Maya dan Pajapati (atau
Gotami).
Setelah Raja
Sihahanu mangkat, Pangeran Suddhodana menduduki tahta kerajaan Sakya dan
kemudian menikah dengan Putri Maya. Pernikahan Raja Suddhodana dan Ratu
Maya inilah yang diberkahi dengan kelahiran seorang putra tunggal yang
di kemudian hari menjadi terkenal dengan nama Buddha Gotama.
Adik Raja
Suddhodana yang bernama Sukkodhana mempunyai seorang putra yaitu Ananda
dan Amitodhana mempunyai dua orang putra, yaitu Mahanama dan Anuruddha
dan seorang putri bernama Rohini. Sedangkan adik perempuannya yang
bernama Amita mempunyai seorang putra, yaitu Devadatta dan seorang putri
bernama Yasodhara, yang kelak menjadi istri dari Pangeran Siddhattha.
Lahirnya Pangeran Siddhattha

Meskipun
Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun anak yang
sangat mereka dambakan belum juga mereka peroleh, sampai pada suatu
waktu Ratu Maya mencapai umur +/- 45 tahun.
Ketika
itu Ratu Maya ikut serta dalam perayaan Asalha yang berlangsung tujuh
hari lamanya. Setelah perayaan selesai Ratu Maya mandi dengan air wangi,
mengucapkan janji Uposatha dan kemudian masuk ke kamar tidur.
Sewaktu
tidur Ratu Maya memperoleh impian yang aneh sekali. Ratu bermimpi bahwa
empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan membawanya ke Himava
(Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di (lereng)
Manosilatala. Kemudian para istri Dewa-dewa Agung tersebut memandikannya
di danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian
memakaikannya pakaian-pakaian yang biasa dipakai para dewata.
Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan direbahkan di
sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih
dengan memegang sekuntum bunga teratai di belalainya memasuki kamar,
mengelilingi dipan sebanyak tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu
Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahukan impian ini kepada Raja dan Raja lalu memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti impian tersebut.
Para
Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki
yang kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau
seorang Buddha.
Memang
sejak hari itu Ratu mengandung dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas
bayi itu dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka
menghadap ke depan.
Sepuluh bulan kemudian di bualan Vaisak Ratu mohon perkenan dari Raja untuk dapat bersalin di rumah ibunya di Devadaha.

Dalam
perjalanan ke Devadaha tibalah rombongan Ratu di Taman Lumbini
(sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu
Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira
Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada
waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Dengan cepat
dayang-dayang membuat tirai sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada dahan
pohon Sala dan dalam sikap berdiri itulah Ratu melahirkan seorang bayi
laki-laki. Ketika itu tepat purnama sidhi di bulan Vaisak tahun 623 S.M.
Empat
Maha Brahma menerima sang bayi dengan jala emas dan kemudian dari langit
turun air dingin dan panas untuk memandikan sang bayi sehingga menjadi
segar.
Sang
bayi sendiri sudah bersih karena tiada darah atau noda-noda lain yang
melekat pada tubuhnya. Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan
tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah Utara.
Setelah berjalan tujuh langkah bayi itu lalu mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
"Aggo 'ham asmi lokassa.
jettho 'ham asmi lokassa.
settho 'ham asmi lokassa.
ayam antima jati,
natthi dani punabbhavo."
jettho 'ham asmi lokassa.
settho 'ham asmi lokassa.
ayam antima jati,
natthi dani punabbhavo."
Artinya :
"Akulah Pemimpin dalam dunia ini,
akulah Tertua dalam dunia ini,
akulah Teragung dalam dunia ini,
inilah kelahiranku yang terakhir,
tak akan ada tumimbal lahir lagi."
"Akulah Pemimpin dalam dunia ini,
akulah Tertua dalam dunia ini,
akulah Teragung dalam dunia ini,
inilah kelahiranku yang terakhir,
tak akan ada tumimbal lahir lagi."
Seorang
pertapa bernama Asita (yang juga disebut Kaladevala) sewaktu
bermeditasi di pegunungan Himalaya, diberitahukan oleh para dewa dari
alam Tavatimsa bahwa seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi
Buddha. Pada hari itu juga Pertapa Asita berkunjung ke Istana Raja
Suddhodana untuk melihat bayi tersebut.
Setelah
melihat sang bayi dan memperhatikan adanya 32 tanda dari seorang
Mahapurisa ("orang besar") , Pertapa Asita memberi hormat kepada sang
bayi yang kemudian diikuti juga oleh Raja Suddhodana. Setelah memberi
hormat Asita tertawa gembira tetapi kemudian lalu menangis.
Menjawab
pertanyaan Raja Suddhodana, Pertapa Asita menerangkan, bahwa sang bayi
kelak akan menjadi Buddha, namun karena usianya sudah lanjut maka ia
sendiri tidak lagi dapat menunggu sampai bayi itu kelak memulai
memberikan Ajarannya.
Karena
didesak oleh Raja Suddhodana yang tidak menginginkan anaknya menjadi
Buddha, Selanjutnya Pertapa Asita mengatakan, bahwa Pangeran kecil itu
kelak tidak boleh melihat empat peristiwa, yaitu :
1. Orang tua
2. Orang sakit
3. Orang mati
4. Pertapa suci
1. Orang tua
2. Orang sakit
3. Orang mati
4. Pertapa suci
Kalau
Pangeran itu melihat empat peristiwa tersebut, maka Beliau segera akan
meninggalkan istana dan bertapa untuk menjadi Buddha.
Pada hari yang sama lahir pula (timbul) dalam dunia ini:
1. Putri Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahulamata (ibu dari Rahula).
2. Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
3. Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha.
4. Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha.
5. Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu.
6. Seekor gajah istana.
7. Pohon Bodhi; di bawah pohon ini Pangeran Siddhattha kelak mendapatkan Penerangan Agung.
8. Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.
1. Putri Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahulamata (ibu dari Rahula).
2. Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
3. Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhattha.
4. Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhattha.
5. Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu.
6. Seekor gajah istana.
7. Pohon Bodhi; di bawah pohon ini Pangeran Siddhattha kelak mendapatkan Penerangan Agung.
8. Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.
Lima
hari setelah lahirnya sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak
keluarganya berkumpul, bersama-sama dengan 108 orang Brahmana untuk
merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang
baik. Di antara Para Brahmana terdapat 8 orang Brahmana yang mahir dalam
meramal nasib, yaitu : Rama, Dhaja, Lakkhana, Manti, Kondanna, Bhoja,
Suyama dan Sudatta.
Para
peramal tersebut, kecuali Kondanna, meramalkan bahwa sang bayi kelak
akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau akan menjadi
Buddha. Hanya Kondanna (Brahmana yang termuda) sajalah yang dengan pasti
mengatakan, bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha. Nama yang
kemudian dipilih adalah Siddhattha yang berarti "Tercapainya segala
cita-citanya."
Tujuh hari setelah Pangeran Siddhattha dilahirkan, Ratu Maya meninggal dunia dan terlahir kembali di sorga Tusita.
Raja Suddhodana menyerahkan perawatan sang bayi kepada Putri Pajapati (adik Ratu Maya) yang juga dinikahinya.

Masa Kanak-kanak hingga Dewasa Sang Buddha
Masa Kanak-kanak
Setelah Pangeran berumur beberapa tahun, Raja Suddhodana mengajaknya untuk turut pergi ke perayaan membajak. Raja sendiri turut membajak bersama-sama para petani dengan menggunakan sebuah alat bajak yang terbuat dari emas.
Setelah Pangeran berumur beberapa tahun, Raja Suddhodana mengajaknya untuk turut pergi ke perayaan membajak. Raja sendiri turut membajak bersama-sama para petani dengan menggunakan sebuah alat bajak yang terbuat dari emas.
Sewaktu
perayaan berlangsung dengan meriah, dayang-dayang yang ditugaskan untuk
menjaga pangeran merasa tertarik sekali dengan jalannya perayaan itu.
Mereka ingin menyaksikan dan meninggalkan Pangeran kecil di bawah
bayangan pohon jambu. Setelah kembali mereka merasa heran sekali melihat
Pangeran sedang bermeditasi dengan duduk bersila.
Dengan
cepat mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja. Raja dengan
diiringi para petani berbondong-bondong datang untuk menyaksikan
peristiwa ganjil tersebut. Benar saja mereka menemukan Pangeran kecil
sedang bermeditasi dengan kaki bersila dan tidak menghiraukan kehadiran
orang-orang yang sedang memperhatikannya. Karena Pangeran pada saat itu
telah mencapai Jhana, yaitu suatu tingkatan pemusatan pikiran, maka sama
sekali tidak terganggu oleh suara-suara yang berisik. Ada lagi satu
keajaiban lain. Bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari
tetapi tetap memanyungi Pangeran kecil yang sedang bermeditasi. Melihat
keadaan yang ganjil ini untuk kedua kalinya Raja Suddhodana memberi
hormat kepada anaknya.
Setelah
Pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk menggali tiga
kolam di halaman istana. Di kolam-kolam itu ditanam berbagai jenis bunga
teratai (lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru
(Uppala), satu kolam dengan bunga yang berwarna merah (Paduma) dan satu
kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika). Selain tiga
kolam tersebut, Raja juga memesan wangi-wangian, pakaian dan tutup
kepala dari negara Kasi, yang waktu itu terkenal kerena menghasilkan
barang-barang tersebut dengan mutu yang paling baik.
Pelayan-pelayan
diperintahkan untuk melindungi Pangeran dengan sebuah payung yang indah
kemanapun Pangeran pergi, baik siang maupun malam hari sebagai lambang
dari keagungannya.
Setelah
tiba waktunya untuk bersekolah, Raja memerintahkan seorang guru bernama
Visvamitta untuk memberikan pelajaran kepada Pangeran dalam berbagai
ilmu pengetahuan. Ternyata Pangeran cerdas sekali dan semua pelajaran
yang diberikan dengan cepat dapat dipahami sehingga dalam waktu singkat
tidak ada lagi hal-hal yang dapat diajarkan kepada Pangeran kecil.
Sejak
kanak-kanak Pangeran terkenal sebagai anak yang penuh kasih sayang
terhadap sesama makhluk hidup seperti terlihat dari kisah di bawah ini.


Pada
suatu hari Pangeran sedang berjalan-jalan di taman dengan saudara
sepupunya, Devadatta, yang pada waktu itu membawa busur dan anak panah.
Devadatta melihat serombongan belibis hutan terbang di atas mereka.
Dengan cekatan Devadatta membidikkan panahnya dan berhasil menembak
jatuh seekor belibis. Pangeran dan Devadatta berlari-lari ke tempat
belibis itu jatuh. Pangeran tiba lebih dahulu dan memeluk belibis itu
yang ternyata masih hidup. Pangeran dengan hati-hati dan penuh kasih
sayang mencabut panah dari sayap belibis tersebut, kemudian
meremas-remas beberapa lembar daun hutan dan dipakaikan sebagai obat
untuk menutupi luka bekas kena panah. Devadatta minta agar belibis
tersebut diserahkan kepadanya karena ia yang menembaknya jatuh. Namun
Pangeran tidak memberikannya dan mengatakan: “Tidak, belibis ini tidak
akan aku serahkan kepadamu. Kalau ia mati maka ia benar adalah milikmu.
Tetapi sekarang ia tidak mati dan ternyata masih hidup karena aku yang
menolongnya, maka ia adalah milikku.” Devadatta tetap menuntutnya dan
Pangeran tetap pada pendiriannya dan tidak mau menyerahkannya. Akhirnya
atas usul Pangeran, mereka berdua pergi ke Dewan Para Bijaksana dan
mohon agar Dewan memberikan putusan yang adil dalam persoalan tersebut.
Setelah mendengarkan keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan
dari kedua belah pihak, Dewan lalu memberikan keputusan sebagai berikut :
“Hidup
itu adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya. Hidup tidak
mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Karena
itu menurut norma-norma keadilan yang berlaku, maka secara sah belibis
harus menjadi milik dari orang yang ingin menyelamatkan jiwanya, yaitu
Pangeran Siddhattha.”
Masa Remaja
Sewaktu
Pangeran meningkat usianya menjadi 16 tahun, Raja memerintahkan untuk
membuat tiga buah istana yang besar dan indah, satu istana untuk musim
dingin (Ramma), satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana
untuk musim hujan (Subha). Kemudian Raja mengirimkan undangan kepada
para orang tua yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya
ke pesta, di mana Pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan
istrinya. Namun para orang tua tersebut ternyata tidak mengacuhkannya.
Mereka mengatakan bahwa Pangeran tidak paham kesenian dan ilmu
peperangan, maka bagaimana ia kelak dapat memelihara dan melindungi
istrinya.


Ketika
hal ini diberitahukan kepada Pangeran maka Pangeran mohon kepada Raja
agar segera mengadakan suatu sayembara, di mana berbagai ilmu peperangan
dipertandingkan. Dalam sayembara itu, Pangeran bertanding melawan
pangeran-pangeran lain yang datang dari segenap penjuru negara Sakya
bahkan juga pangeran-pangeran dari negara-negara lain.
Semua pertandingan
seperti naik kuda, menjinakkan kuda liar, menggunakan pedang dan memanah
ternyata dimenangkan oleh Pangeran. Khusus dalam hal memanah Pangeran
tidak ada tandingannya. Untuk membentangkan busur yang dipakai oleh
Pangeran saja mereka tidak mampu, karena busur itu besar dan berat,
sehingga untuk membawanya ke tempat pertandingan harus digotong oleh
empat orang.
Dengan
mendapat sambutan yang meriah sekali dari para hadirin, Pangeran
dinyatakan sebagai pemenang mutlak dari sayembara tersebut.
Dalam
sebuah pesta besar yang kemudian diselenggarakan dan dihadiri oleh
tidak kurang dari empat puluh ribu gadis cantik, pilihan Pangeran jatuh
kepada seorang gadis bernama Yasodhara yang masih ada ikatan keluarga
dengan Pangeran karena ia adalah anak pamannya yang bernama Raja
Suppabuddha dari negara Devadaha dan bibinya Ratu Amita (adik Raja
Suddhodana).
Setelah
Pangeran Siddhattha menikah dengan Putri Yasodhara, maka kekuatiran Raja
Suddhodana agak berkurang, sebab Raja selalu ingat kepada ramalan dari
Pertapa Asita bahwa Pangeran kelak akan menjadi Buddha.
Dengan
pernikahannya ini Raja berharap Pangeran akan lebih diikat kepada
hal-hal duniawi. Sekarang tinggal menjaga supaya Pangeran jangan melihat
empat peristiwa tentang penghidupan, yaitu orang tua, orang sakit,
orang mati dan orang pertapa suci.
Karena
itu, Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya agar Pangeran dijaga
jangan sampai melihat empat hal tersebut. Kalau ada dayangnya yang
sakit, maka dayang itu segera disingkirkan. Semua dayang dan pengawalnya
adalah orang-orang muda belia. Selanjutnya, Raja memerintahkan untuk
membuat tembok tinggi mengelilingi istana dan kebun dengan pintu-pintu
yang kokoh kuat dan dijaga siang malam oleh orang-orang kepercayaan
Raja.
Dengan demikian,
Pangeran Siddhattha dan Putri Yasodhara memadu cinta di tiga istananya
yang mewah sekali dan selalu dikelilingi oleh penari-penari dan
dayang-dayang yang cantik-cantik.
Raja
merasa puas dengan apa yang telah dikerjakannya dan berharap bahwa
pangeran kelak dapat menggantikannya sebagai Raja negara Sakya.
Melihat Empat Peristiwa
Pangeran tidak bahagia dengan cara hidup yang dianggap seperti orang tawanan dan terpisah sama sekali dari dunia luar.
Pada
suatu hari Pangeran mengunjungi ayahnya dan berkata: “Ayah,
perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata cara
kehidupan penduduk yang kelak akan kuperintah.”
Kerena
permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. “Baik, anakku, engkau
boleh keluar dari istana untuk melihat bagaimana penduduk hidup di kota.
Tetapi sebelumnya aku harus membuat persiapan sehingga segala
sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.”
Setelah rakyat selesai menghias kota seperti diperintahkan oleh Raja maka Raja memanggil Pangeran untuk menghadap.
“Anakku, sekarang engkau boleh pergi melihat-lihat kota sepuas hatimu.”
Sewaktu
Pangeran sedang berjalan-jalan di kota dengan tiba-tiba seorang tua
keluar dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih
semua, kulit mukanya kering dan penuh keriput, matanya sudah hampir
buta, pakaiannya compang-camping dan kotor sekali. Giginya sudah ompong,
badannya kurus kering dan dengan susah payah serta terbungkuk-bungkuk
ditopang oleh sebuah tongkat berjalan tanpa menghiraukan orang-orang di
sekelilingnya yang sedang bergembira. Dengan suara lemah dan perlahan
sekali ia minta-minta makanan dan mangatakan kalau tidak diberi makanan
ia pasti akan mati hari itu juga karena ia lapar sekali dan sudah
beberapa hari tidak makan.
Melihat orang tua itu, Pangeran terkesan sekali, karena hal seperti itu baru pertama kali dilihatnya.
“Apakah
itu, Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia bungkuk
sekali? Mengapa ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan
bukan hitam seperti rambutku? Apa salahnya dengan matanya? Dan giginya
dikemanakan? Apakah ada orang yang terlahir seperti itu? Coba katakan, O
Channa yang baik. Apakah artinya semua ini?”
Channa menerangkan kepada Pangeran, bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“Sewaktu
masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua
sekali maka keadaannya telah berubah seperti yang Tuanku lihat.
Sebaiknya Tuanku melupakan saja orang tua tersebut. Setiap orang kalau
sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti orang itu. Hal
itu tidak dapat dielakkan.”
Tetapi
Pangeran tidak puas dengan jawaban Channa. Pangeran memerintahkan untuk
segera kembali ke istana, karena pemandangan orang tua yang baru saja
ia lihat telah membuatnya sedih sekali ia ingin merenungkan persoalan
ini dengan lebih mendalam. Mengapa sebagai seorang Pangeran dan juga
orang-orang lain pada suatu hari harus menjadi tua, lemah, dan sedih dan
tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya, meskipun ia kaya,
terpandang atau berkuasa.
Malam
itu diselenggarakan sebuah pesta besar untuk menghibur Pangeran. Tetapi
Pangeran acuh tak acuh saja dan tidak kelihatan gembira sewaktu
berlangsungnya pesta makan dan tari-tarian. Ia sedang sibuk merenung dan
dalam hati berkata kepada mereka yang hadir, “Pada suatu hari engkau
semua akan menjadi tua, tanpa ada yang terkecuali dan begitu pula engkau
yang tercantik.”
Setelah
pesta usai dan Pangeran masuk ke kamar tidur, pikiran itu masih tetap
saja mengganggunya. Di tempat tidur ia masih merenung bahwa suatu hari
semua orang akan menjadi tua, rambutnnya putih, kulitnya keriput, ompong
dan buruk seperti tukang minta-minta yang baru saja ia lihat. Ia ingin
tahu apakah ada orang yang telah menemukan cara untuk menghentikan hal
yang menyeramkan itu, yaitu usia tua.
Setelah
persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali
dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan Pangeran
meninggalkan istana. Karena itu Raja memerintahkan kepada
dayang-dayangnya untuk lebih sering mengadakan pesta-pesta makan dan
tari-tarian.
Berselang
beberapa hari Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan
melihat-lihat lagi kota Kapilavatthu, tetapi sekarang tanpa terlebih
dahulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan
berat hati Raja memberikan izinnya karena Beliau tahu tidak ada gunanya
untuk melarang, sebab hal itu tentu akan membuat Pangeran sangat sedih.
Pada
kesempatan ini Pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian
seperti anak keluarga bangsawan, karena ia tidak ingin dikenal sewaktu
sedang berjalan-jalan.
Hari
itu pemandangan kota berlainan sekali. Tidak ada penduduk berkumpul
untuk mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul,
bunga-bunga dan penduduk yang berpakaian rapi. Tetapi hari itu Pangeran
dapat melihat penduduk yang sedang sibuk bekerja.
Seorang
pandai besi dengan badan penuh keringat sedang membuat pisau. Seorang
pandai emas sedang membuat kalung, gelang, kerabu dan cincin dari intan,
emas dan perak.
Seorang
tukang celup pakaian sedang mencelup pakaian dalam beraneka ragam warna
yang bagus-bagus dan kemudian menjemurnya. Tukang kue sedang sibuk
memanggang roti dan kue dan menjualnya kepada langganannya yang kemudian
dimakan selagi masih panas.
Pangeran
memperhatikan orang-orang kecil ini yang sederhana dan semua orang
kelihatannya sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjaannya.
Tetapi pangeran juga melihat seorang yang sedang merintih-rintih dan
bergulingan di tanah dengan kedua tangannya memegang perutnya. Di muka
dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya
berputar-putar dan napasnya mengap-mengap.
Untuk
kedua kalinya dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang membuat
Beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh
kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya,
meletakkan kepalanya di pangkuannya dan dengan suara menghibur
menanyakan: “Mengapa engkau, engkau mengapakah?” Orang sakit itu sudah
tidak dapat menjawab. Ia hanya menangis tersedu-sedu.
“Channa, katakanlah, mengapakah orang ini?” Apakah yang salah dengan napasnya? Mengapa ia tidak bicara?”
“O,
Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dan darahnya
beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh badannya terasa terbakar.
Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“Tetapi, apakah ada orang lain yang seperti dia?”
“Ada,
dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon
dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali di tanah dan jangan
menyentuhnya lagi sebab sakit pes itu sangat menular. Nanti Tuanku juga
akan sakit.”
“Channa, masih banyakkah hal-hal buruk seperti ini selain sakit pes?”
“Memang, Tuanku, ada ratusan penyakit yang sama hebatnya seperti sakit pes.”
“Apakah
tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat
diserang penyakit? Apakah sakit datang secara mendadak?”
“Betul,
Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada
orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.”
Mendengar
ini Pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk
merenungkan hal ini. Raja merasa sedih karena melihat Pangeran pada
waktu terakhir ini seperti kurang gembira berhubung dengan
kejadian-kejadian yang telah dilihatnya.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu.
Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada
kesempatan ini Pangeran yang berpakaian sebagai anak seorang bangsawan
dengan diiringi Channa berjalan-jalan di kota Kapilavatthu. Tidak lama
kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis
mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Di
atas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam
keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi
sebuah sungai dan meletakkannya di atas tumpukan kayu yang kemudian
dinyalakannya.
Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakarnya dari semua sudut.
“Channa, apakah itu? Mengapa orang itu berbaring di sana dan membiarkan orang lain membakar dirinya?”
“Dia tidak tahu apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”
“Mati! Channa, apakah ini yang dinamakan mati? Dan apakah semua orang pada suatu waktu akan mati?”
“Betul, Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu waktu harus mati. Tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”
Pangeran
heran dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah kata
pun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut
“mati” itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang
Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk
menghentikannya? Pangeran pulang dan di kamarnya ia merenungkan
persoalan ini sepanjang hari.
“Semua
orang di dunia ini pada suatu waktu harus mati; belum ada orang yang
tahu bagaimana cara untuk menghentikannya. Tetapi aku rasa pasti ada
cara untuk menghentikannya. Aku harus mencarinya dan menolong dunia
ini.”
Sewaktu Pangeran
mengunjungi Kapilavatthu untuk keempat kalinya, di sebuah taman
Pangeran berhenti dan duduk beristirahat di bawah pohon jambu. Tiba-tiba
Pangeran melihat seorang pertapa berjubah kuning dengan membawa mangkuk
di tangan menghampirinya.
Pangeran memberi salam kepada pertapa tersebut dan menanyakan kegunaan mangkuk yang sedang dipegangnya.
Pertapa
itu menjawab: “Pangeran yang mulia, aku ini seorang pertapa yang
minta-minta makanan. Aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan
sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit
dan mati. Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan makanan dari mereka
yang berbelas kasihan. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal
dan barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata pertapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O, pertapa suci, di manakah obat itu harus dicari?”
“
Pangeran yang mulia, aku mencarinya dalam ketenangan dan kesunyian
hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang
maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan
sedang menunggu.”
Kemudian
pertapa itu berlalu dan terus menghilang, Konon diceritakan bahwa
pertapa itu adalah seorang dewa yang ingin membantu Pangeran Siddhattha.
Pangeran merasa gembira sekali dan berkata di dalam hati: “Aku juga harus menjadi pertapa seperti itu!”
Tidak
lama kemudian datanglah dayang-dayang yang khusus mencari Pangeran
untuk memberitahukan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan seorang bayi
laki-laki yang sehat. Mendengar berita ini Pangeran bukan bergembira
tetapi mukanya justru menjadi pucat. Pangeran mengangkat kepalanya
menatap langit yang tinggi dan kemudian berkata:
“Rahulajato, bandhanang jatang.”
Yang berarti:
“Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”
“Satu jerat telah terlahir, satu ikatan telah terlahir.”
Karena ucapan ini maka bayi yang baru lahir kemudian diberi nama “Rahula”.
Dalam
perjalanan pulang ke istana Pangeran bertemu dengan Kisa Gotami yang
karena kagumnya mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
“Nibbuta nuna sa mata.
Nibbuta nuna so pita.
Nibbuta nuna sa nari.
Yassa yang idiso pati.”
Nibbuta nuna so pita.
Nibbuta nuna sa nari.
Yassa yang idiso pati.”
Yang berarti:
“Tenanglah ibunya.
Tenanglah ayahnya.
Tenanglah istrinya.
Yang mempunyai suami seperti Anda.”
“Tenanglah ibunya.
Tenanglah ayahnya.
Tenanglah istrinya.
Yang mempunyai suami seperti Anda.”
Pangeran
terkejut dan tergetar hatinya mendengar perkataan :”Nibbuta yang
berarti “tenang, padam nafsu-nafsu”, sehingga Beliau menghadiahkan Kisa
Gotami sebuah kalung emas yang sedang dipakainya.

Pangeran Siddhattha meninggalkan Istana
Untuk menyambut kelahiran cucunya,
Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah. Tetapi
Pangeran kelihatan tidak gembira. Pangeran dengan hati-hati mendekati
Raja dan mohon izin untuk mencari obat terhadap usia tua, sakit dan
mati. Hal ini menimbulkan amarah Raja.
Izin tidak diberikan seperti dapat kita ikuti dalam percakapan di bawah ini :
“Ayah, kalau tidak diberi izin saya mohon Ayah berkenan memberikan kepadaku delapan macam anugrah.”
“Tentu saja, anakku, aku lebih baik turun tahta daripada tidak meluluskan permintaanmu.”
“Kalau begitu, mohon Ayah memberikan kepadaku :
1. Anugerah supaya tidak menjadi tua.
2. Anugerah supaya tidak sakit.
3. Anugerah supaya tidak mati.
4. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku.
5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama-sama dengan kerabat lain tetap hidup.
6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang.
7. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua dan mati.”
2. Anugerah supaya tidak sakit.
3. Anugerah supaya tidak mati.
4. Anugerah supaya Ayah tetap bersamaku.
5. Anugerah supaya semua wanita yang ada di istana bersama-sama dengan kerabat lain tetap hidup.
6. Anugerah supaya kerajaan ini tidak berubah dan tetap seperti sekarang.
7. Anugerah supaya mereka yang pernah hadir pada pesta kelahiranku dapat memadamkan semua nafsu keinginannya.
8. Anugerah supaya aku dapat mengakhiri kelahiran, usia tua dan mati.”
Mendengar
pernyataan di atas Raja Suddhodana menjadi kaget dan kecewa. Raja
menjawab, bahwa hal-hal yang di atas itu berada di luar kemampuannya dan
masih mencoba untuk membujuknya dengan mengatakan :
“Anakku, usiaku sekarang sudah lanjut. Tunggu saja dan tangguhkan kepergianmu sampai aku sudah mangkat.”
“Ayah,
relakan kepergianku justru sewaktu Ayah masih hidup. Aku berjanji bila
sudah berhasil akan kembali ke Kapilavatthu untuk mempersembahkan obat
yang telah kutemukan ke hadapan Ayah.”
Raja tetap tidak memberikan izinnya dan Pangeran tetap bersikeras untuk terus melaksanakan cita-citanya.
Pangeran kemudian memasuki kamar Yasodhara dan memandangi anaknya
dengan gembira dan haru karena tidak lama lagi Beliau akan
meninggalkannya berhubung tekadnya yang sudah bulat untuk mencari obat
agar orang tidak menjadi tua, sakit dan mati.
Selanjutnya
Pangeran masuk ke ruangan tempat para penari sedang menari diiringi
musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri di atas bantal yang dibuat
dari benang-benang emas dan karena letih tidak lama kemudian Pangeran
tertidur. Para penari menghentikan tariannya dan mereka pun ikut tidur
di ruangan yang sama sambil menunggui Pangeran. Pada tengah malam
Pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya. Pangeran melihat
gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur di lantai dalam sikap
yang beraneka ragam. Ada yang terlentang, ada yang tengkurap, ada yang
mulutnya menganga lebar, ada yang air liurnya meleleh ke luar, ada yang
menggulung tubuhnya sambil kepalanya terantuk-antuk di dadanya. ada yang
menggigau, dan lain-lain. Pangeran merasa seperti di pekuburan dengan
mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat Pangeran jijik
dan muak sekali, sehingga Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan
istana pada malam itu juga.
Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Kanthaka, kuda kesayangannya.
Pangeran kemudian pergi ke kamar Yasodhara untuk melihat istri dan
anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nyenyak dan
memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi
tidak dapat terlihat.

Pangeran
semula ingin menggeser sedikit tangan istrinya, tetapi hal itu
diurungkan karena takut kalau hal ini menyebabkan Yasodhara terbangun
dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran hanya
berkata dalam hati : “Tidak, biarlah hari ini aku tidak melihat wajah
anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yang kucari aku akan
datang kembali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan istriku.”
Setelah
itu Pangeran meninggalkan istana dengan menunggang Kanthaka yang
berbulu putih diikuti oleh Channa yang memegang buntut kuda. Seolah-olah
sudah diatur terlebih dahulu oleh para dewa, Pangeran Siddhattha tidak
mendapat kesukaran waktu hendak keluar dari pintu gerbang istana dan
waktu hendak keluar dari pintu tembok kota.


Para
pengawalnya semua sedang tidur nyenyak dan Channa dengan mudah dapat
membuka pintu agar Pangeran dapat keluar dari istana dan keluar kota.
Ketika
itu Pangeran dicegat oleh Dewa Mara yang jahat dan membujuknya untuk
kembali ke istana dan ia berjanji bahwa dalam waktu satu minggu Pangeran
akan menjadi raja negara Sakya. Pangeran tidak menggubris bujukan Dewa
Mara yang membuat Dewa Mara menjadi marah dan mengancam akan terus
membuntutinya.
Setelah
sampai di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk
melihat kota Kapilavatthu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian
didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).
Saat itu terang bulan di bulan Asatha dan Pangeran berusia 29 tahun.
Perjalanan
diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya dan Malla dan
kemudian dengan satu kali loncatan menyeberangi sungai Anoma, Pangeran
turun dari kuda, mencopot semua perhiasannya dan memberikannya kepada
Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut di kepalanya dengan pedang
dan melemparkannya ke udara (yang disambut oleh Dewa Sakka dan
membawanya ke sorga Tivatimsa untuk dipuja di Culamani-cetiya).
Rambut yang tersisa sepanjang dua Anguli (+/- dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh-tumbuh lagi.
Selanjutnya,
Brahma Chatikara mempersembahkan kepada Pangeran keperluan seorang
bhikkhu yang terdiri dari delapan rupa barang, yaitu : jubah luar, jubah
dalam, kain bawah, ikat pinggang, mangkuk makanan, pisau, jarum, dan
saringan air. Setelah menukar pakaiannya dengan jubah bhikkhu, Pangeran
memerintahkan Channa untuk kembali ke istana.
“Tidak ada gunanya hamba diam terus di istana tanpa Tuanku. Perkenankanlah hamba ikut Tuanku berkelana.”
“Jangan
Channa, bawa pakaian dan perhiasan ini kembali dan berikan kepada
ayahku dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu, Yasodhara untuk jangan
terlalu bersusah hati. Aku akan mencari obat untuk menghentikan usia
tua, sakit, dan mati. Segera setelah aku memperolehnya aku kembali ke
istana untuk memberikannya kepada Ayah, Ibu, Yasodhara, Rahula dan
kepada semua orang yang ada di dunia ini.”
Channa
memberi hormat kepada Pangeran dan bersiap-siap untuk kembali. Tetapi
Kanthaka tidak mau diajak pergi. Pangeran mendekati Kanthaka,
mengusap-ngusap dan menepok-nepok lehernya dengan penuh kasih sayang
sambil berkata : “Ayolah, Kanthaka, ikutlah pulang dengan Channa dan
jangan menunggu aku lagi.”
Kanthaka
ikut dengan Channa tetapi baru jalan belum seberapa jauh, kuda itu
berhenti dan menengok lagi ke belakang agar dapat melihat wajah Pangeran
untuk penghabisan kali. Kuda itu nampaknya sedih sekali dan matanya
basah dengan air mata.
Kembalinya
Channa bersama Kanthaka tanpa Pangeran ke Kapilavatthu disambut Raja
dan seluruh penghuni istana dengan ratapan dan tangisan. Yasodhara
memeluk leher Kanthaka dan bertanya : “Oh, Kanthaka, kesalahan apakah
yang telah kubuat terhadapmu dan Channa, sehingga engkau berdua membawa
pergi Tuanku Pangeran sewaktu aku sedang tidur nyenyak?” Hal ini membuat
Kanthaka sedih dan patah hati.
Channa
menyerahkan perhiasan, pedang serta pakaian Pangeran kepada Baginda
Raja, menyampaikan salam perpisahan Pangeran kepada Ibunya dan Yasodhara
beserta segenap keluarga lainnya. Selanjutnya Channa memberitahukan
bahwa Pangeran sekarang berada di tepi sungai Anoma di negara Malla.
Meskipun
menyesali kepergian Pangeran Siddhattha, tetapi Raja tahu bahwa
kepergiannya itu sesuai dengan ramalan pertapa Asita dan Kondanna dan
mengharap-harap cemas bila kiranya Pangeran akan berhasil menjadi
seorang Buddha. Mulai hari itu Raja selalu mengikuti keadaan Pangeran
dengan menyuruh orang menyelidiki dan melaporkan kepada Raja segala
sesuatu yang dikerjakan Pangeran dan di mana Beliau berada.

Bertapa di hutan Uruvela
Dari tepi sungai Anoma, Pangeran
pergi ke kebun mangga di Anupiya. Setelah tujuh hari diam di Anupiya,
Pangeran pada suatu pagi berjalan ke arah Rajagaha untuk mulai dengan
meminta-minta makanan kepada penduduk. Kedatangan Pangeran di Rajagaha
ternyata mendapat perhatian dari seorang pembantu Raja Bimbisara yang
terus mengikutinya sampai di Pandavapabbata, tempat Pangeran
beristirahat untuk makan dari hasil perjalanan kelilingnya. Raja
Bimbisara dilaporkan tentang kedatangan seorang pertapa yang paras
mukanya kelihatan agung dan sekarang sedang beristirahat di
Pandavapabbata.
Raja
Bimbisara datang menemui pertapa Siddhattha dan kemudian menanyakan
nama, nama orang tuanya dan mengapa ia menjadi seorang pertapa.
“Mengapa
Anda melakukan hal ini? Apakah Anda berselisih paham dengan Ayah Anda?
Tinggal saja denganku di sini dan aku akan menghadiahkan Anda setengah
dari kerajaanku.”
“Terima
kasih banyak, Baginda. Aku sangat cinta kepada orangtuaku, istriku,
anakku, Anda sendiri dan kepada semua orang. Aku hendak mencari obat
untuk menghentikan usia tua, sakit dan mati. Karena itulah aku menjadi
seorang pertapa.”
“Kalau
tawaranku tidak diterima, yah, apa boleh buat. Tetapi harap Anda
berjanji untuk terlebih dahulu mengunjungi Rajagaha apabila kelak
berhasil menemukan obat tersebut.”
“Baiklah, Baginda, aku berjanji.”

Dari
Rajagaha pertapa Siddhattha meneruskan perjalanannya dan tiba di dekat
tempat pertapaan Alara-Kalama. Di tempat ini pertapa Siddhattha (juga
disebut pertapa Gotama) berguru kepada Alara-Kalama dan dalam waktu
singkat sudah dapat menyamai kepandaian gurunya.
Di tempat ini pertapa Gotama diajar cara-cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dan Tumimbal Lahir.
Karena
merasa bahwa dengan pengetahuan ini masih belum terjawab tentang sebab
musabab dari kelahiran dan bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan
mati, maka pertapa Gotama melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang
yang dapat mengajar tentang hal tersebut.
Pertapa Gotama kemudian berguru kepada Uddaka-Ramaputta yang pada zaman itu terkenal sebagai seorang pertapa yang paling pandai.
Dari
Uddaka-Ramaputta pertapa Gotama mendapat pelajaran tentang cara
bermeditasi yang paling tinggi sehingga mencapai keadaaan
“Bukan-Pencerapan” juga bukan “Bukan-Pencerapan”. Karena dalam waktu
singkat pertapa Gotama sudah memahami semua pelajaran Uddaka-Ramaputta,
maka gurunya minta agar ia terus berdiam di tempat tersebut untuk
bersama-sama membina murid-muridnya yang banyak sekali.
Tetapi
pertapa Gotama masih belum puas, sebab ia masih belum mendapat jawaban
tentang bagaimana mengakhiri usia tua, sakit dan mati.
Pertapa
Gotama kemudian pergi ke Senanigama di Uruvela dan di tempat inilah
pertapa Gotama bersama-sama dengan 5 orang pertapa lain (Bhaddiya,
Vappa, Mahanama, Assaji dan Kondanna) berlatih dalam berbagai cara
penyiksaan diri. Mereka melatih diri dengan menjemur diri di terik
matahari pada siang hari dan pada waktu tengah malam berendam di sungai
untuk waktu yang lama. Karena masih saja belum berhasil maka pertapa
Gotama lalu malakukan latihan yang lebih berat lagi.
Ia
merapatkan giginya dan menekan kuat-kuat langit-langit mulutnya
sehingga keringat mengucur ke luar dari ketiak-ketiaknya. Demikian hebat
sakit yang dideritanya sehingga dapat diumpamakan sebagai orang kuat
yang gagah perkasa memegang seorang yang lemah di kepala atau lehernya
dan menekan dengan sekuat tenaga.
Dengan
sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya ia berusaha agar
batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet
dalam usahanya.
Setelah
berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke
Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain. Ia kemudian
sedikit demi sedikit menahan napasnya sampai napasnya tidak lagi ke luar
melalui hidung atau mulut, tetapi dengan mengeluarkan suara mendesis
yang mengerikan keluar melalui lubang telinga. Kemudian timbul sakit
yang hebat di kepala dan di perut disusul dengan panas yang menjalar ke
seluruh tubuh.
Dengan
sakit yang demikian hebat yang diderita tubuhnya, ia berusaha agar
batinnya jangan melekat, selalu waspada, tenang dan teguh serta ulet
dalam usahanya.
Setelah
berusaha beberapa lama dan melihat bahwa usaha ini tidak membawanya ke
Penerangan Agung, ia berhenti dan mencoba cara yang lain.

Selanjutnya
ia berpuasa dan tidak makan apa-apa sampai berhari-hari atau mengurangi
makannya sedikit demi sedikit sampai makan hanya beberapa butir nasi
satu hari. Tentu saja kesehatannya memburuk dan badannya kurus sekali.
Kalau perutnya ditekan maka tulang punggungnya dapat dipegang dan kalau
punggungnya ditekan maka perutnya dapat dipegang. Ia merupakan tengkorak
hidup dengan tulang-tulang dilapisi kulit dan dagingnya sudah tidak ada
lagi. Warna kulitnya berubah menjadi hitam dan rambutnya banyak yang
rontok. Kalau berdiri tidak bisa diam karena kakinya gemetaran.
Seperti
cara-cara yang terdahulu, ia kemudian melihat, bahwa cara ini tidak
membawanya ke Penerangan Agung. Secara tiba-tiba timbul dalam batinnya
tiga buah perumpamaan yang sebelumnya tak pernah terpikir.
Pertama :
“Kalau
sekiranya sepotong kayu diletakkan di dalam air dan seorang membawa
sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat api dengan
menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku ingin
mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat api dari
menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan dan
kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang masih terikat
kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya dan batinnya masih ingin
menikmatinya pasti tak akan berhasil.”
Kedua :
“Kalau
sekiranya sepotong kayu basah diletakkan di tanah yang kering dan
seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat
api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku
ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini tidak mungkin dapat membuat
api dari menggosok kedua kayu itu dan ia hanya akan memperoleh keletihan
dan kesedihan. Begitu pula para pertapa dan Brahmana yang tidak terikat
lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi batinnya masih ingin
menikmatinya pasti tak akan berhasil.”
Ketiga :
“Kalau
sekiranya sepotong kayu kering diletakkan di tanah yang kering dan
seorang membawa sepotong kayu lain (yang biasa digunakan untuk membuat
api dengan menggosok-gosoknya) dan ia pikir: “Aku ingin membuat api, aku
ingin mendapatkan hawa panas.” Orang ini pasti dapat membuat api dari
menggosok kedua kayu kering itu. Begitu pula para pertapa dan Brahmana
yang tidak terikat lagi kepada kesenangan nafsu-nafsu indriya tetapi
batinnya juga tidak terikat lagi, maka pertapa dan Brahmana itu berada
dalam keadaan yang baik sekali untuk memperoleh Penerangan Agung.”
Setelah
merenungkan tiga perumpamaan tersebut, maka pertapa Gotama mengambil
keputusan untuk berhenti berpuasa. Sehabis mandi di sungai dan ingin
kembali ke gubuknya, pertapa Gotama terjatuh dan pingsan di tepi sungai.
Waktu siuman ia sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Untung pada waktu
itu lewat seorang anak penggembala kambing bernama Nanda yang melihatnya
sedang tergeletak kehabisan tenaga di tepi sungai. Dengan cepat ia
memberikan pertapa itu air susu kambing sehingga dengan perlahan-lahan
tenaga pertapa Gotama pulih kembali dan ia dapat melanjutkan
perjalanannya ke gubuk tempat ia bertapa. Sejak hari itu pertapa Gotama
diberi makan air tajin untuk mengembalikan kekuatan dan kesehatannya dan
tidak lama kemudian pertapa Gotama sudah dapat makan juga makanan lain,
sehingga dengan demikian kesehatannya pulih kembali.
Namun
lima orang kawannya yang bersama-sama bertapa merasa kecewa sekali,
karena dengan berhenti berpuasa pertapa Gotama dianggap telah gagal
dalam pertapaannya dan tidak mungkin akan memperoleh Penerangan Agung.
Mereka meninggalkannya dan pergi ke taman rusa di Benares.

Pada
suatu hari serombongan penari ronggeng lewat dekat gubuk pertapa
Gotama. Sambil berjalan mereka bergurau dan bergembira dan seorang di
antaranya bernyanyi dengan syair sebagai berikut :
“Kalau
tali gitar ditarik terlalu keras, talinya putus, lagunya hilang. Kalau
ditarik terlalu kendor, ia tak dapat mengeluarkan suara. Suaranya tidak
boleh terlalu rendah atau keras. Orang yang memainkannyalah yang harus
pandai menimbang dan mengira.”
Mendengar
nyanyian itu pertapa Gotama mengangkat kepalanya dan memandang dengan
heran kepada rombongan penari ronggeng tersebut. Dalam hatinya ia
berkata :
“Sungguh aneh
keadaan di dunia ini bahwa seorang Bodhisatta (calon Buddha) mesti
menerima pelajaran dari seorang penari ronggeng. Karena bodoh aku telah
menarik demikian keras tali penghidupan, sehingga hampir-hampir saja
putus. Memang seharusnya aku tidak boleh menarik tali itu terlalu keras
atau terlalu kendor.”
Di
dekat tempat itu tinggal pula seorang wanita muda kaya raya bernama
Sujata. Sujata ingin membayar kaul kepada dewa pohon karena
permohonannya supaya diberi seorang anak laki-laki terkabul. Hari itu
Sujata mengirim pelayannya ke hutan untuk membersihkan tempat di bawah
pohon di mana ia ingin mempersembahkan makanan yang lezat-lezat kepada
dewa pohon. Ia agak terkejut waktu pelayannya dengan tergesa-gesa
kembali dan memberitahukan : “Oh, nyonya, dewa pohon itu sendiri telah
datang dari kayangan untuk menerima langsung persembahan nyonya. Beliau
sekarang sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Alangkah beruntungnya
bahwa dewa pohon berkenan untuk menerima sendiri persembahan nyonya.”

Sujata
gembira sekali mendengar berita tersebut. Setelah makanan selesai
dimasak, berangkatlah Sujata ke hutan. Sujata merasa kagum melihat dewa
pohon dengan wajah yang agung sedang bermeditasi. Ia tidak tahu, bahwa
orang yang dikira sebagai dewa pohon sebenarnya adalah pertapa Gotama.
Dengan hati-hati makanan ditempatkan ke dalam mangkuk dan dengan hormat
dipersembahkan kepada pertapa Gotama yang dikira Sujata adalah dewa
pohon.
Pertapa Gotama
menyambut persembahan ini. Setelah habis makan terjadilah percakapan
antara pertapa Gotama dan Sujata seperti di bawah ini :
“Dengan maksud apakah engkau membawa makanan ini?”
“Tuanku
yang terpuja, makanan yang telah aku persembahkan kepada Tuanku adalah
cetusan terima kasihku karena Tuanku telah meluluskan permohonanku agar
dapat diberi seorang anak laki-laki.”
Kemudian pertapa Gotama menyingkap kain yang menutup kepala bayi dan meletakkan tangannya di dahinya sambil memberi berkah :
“Semoga
berkah dan keberuntungan selalu menjadi milikmu. Semoga beban hidup
akan engkau terima dengan ringan. Aku bukanlah dewa pohon, tetapi
seorang putra raja yang telah enam tahun
menjadi pertapa untuk mencari sinar terang yang dapat dipakai untuk
memberi penerangan kepada manusia yang berada dalam kegelapan. Aku yakin
dalam waktu dekat ini aku akan berhasil memperoleh sinar terang
tersebut. Dalam hal ini persembahan makananmu telah banyak membantu,
karena sekarang badanku menjadi kuat dan segar kembali. Karena itu
dengan persembahanmu ini engkau akan mendapat berkah yang sangat besar.
Tetapi, adikku yang baik, coba katakan, apakah engkau sekarang bahagia
dan apakah penghidupan yang disertai cinta saja sudah memuaskan?”
“Tuanku
yang terpuja, karena aku tidak menuntut banyak maka hatiku dengan mudah
mandapat kepuasan. Sedikit tetesan air hujan sudah cukup untuk memenuhi
mangkuk bunga Lily, meskipun belum cukup untuk membuat tanah menjadi
basah. Aku sudah merasa bahagia dapat memandang wajah suamiku yang sabar
atau melihat senyum bayi ini. Setiap hari dengan senang hati aku
mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, memberi sajen kepada para
dewata, menyambut suamiku yang pulang dari pekerjaan; apalagi sekarang
dengan dilahirkannya seorang anak laki-laki yang menurut buku-buku suci
akan membawa berkah kalau kelak kami meninggal dunia. Juga aku tahu
bahwa kebaikan datang dari perbuatan baik dan kemalangan datang dari
perbuatan jahat yang berlaku bagi semua orang dan pada setiap waktu,
sebab buah yang manis muncul dari pohon yang baik dan buah yang pahit
keluar dari pohon yang penuh racun. Apakah yang harus ditakuti oleh
orang yang berkelakuan baik kalau nanti tiba saatnya mesti mati?”
“Kau
sudah mengajar kepada orang yang seharusnya menjadi gurumu, dalam
penjelasanmu yang sederhana itu terdapat sari dari kebajikan yang lebih
nyata dari kebajikan yang tinggi, meskipun engkau tidak belajar apa-apa
namun engkau tahu jalan kebenaran dan menyebar keharumanmu ke semua
pelosok. Sebagaiman engkau sudah mendapat kepuasan, semoga aku pun akan
mendapatkan apa yang aku cari. Aku, yang engkau pandang sebagai seorang
dewa, minta didoakan supaya aku dapat berhasil melaksanakan
cita-citaku.”
Pertapa
Gotama kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong.
Ia menuju ke tepi sungai Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. Tiba di
tepi sungai pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dengan
berkata : “Kalau memang waktunya sudah tiba mangkuk ini akan mengalir
melawan arus dan bukan mengikuti arus.” Satu keajaiban terjadi karena
mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.”
Penerangan Agung

Pertapa
Gotama meneruskan perjalanannya dan pada sore hari tiba di Gaya. Ia
memilih tempat untuk bermeditasi di bawah pohon Bodhi (Latin : Ficus
Religiosa), kemudian mempersiapkan tempat duduk di sebelah timur pohon
itu dengan rumput kering yang diterima dari pemotong rumput bernama
Sotthiya. Di tempat itulah pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah
menghadap ke Timur dengan tekad yang bulat. Ia kemudian berkata dalam
hati :
“Dengan
disaksikan oleh bumi, meskipun kulitku, urat-uratku dan tulang-tulangku
akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun
dari tempat ini sebelum memperoleh Penerangan Agung dan mencapai
Nibbana.”
Kemudian
pertapa Gotama melakukan meditasi Anapanasati, yaitu meditasi dengan
menggunakan obyek keluar dan masuknya napas. Tidak seberapa lama
pikiran-pikiran yang tidak baik mengganggu batinnya, seperti keinginan
kepada benda-benda duniawi, tidak menyukai penghidupan suci yang bersih
dan baik, perasaan lapar dan haus yang luar biasa; keinginan yang sangat
dan melekat kepada benda-benda, malas dan tidak suka mengerjakan
apa-apa; takut kepada jin-jin, hantu-hantu jahat; keragu-raguan,
kebodohan, keras kepala, keserakahan; keinginan untuk dipuji dan
dihormati dan hanya melakukan hal-hal yang membuat dirinya terkenal;
tinggi hati dan memandang rendah kepada orang lain.
Perjuangan
hebat dalam batin pertapa Gotama melawan keinginan dan nafsu-nafsu
tidak baik, dalam buku-buku suci digambarkan sebagai perjuangan melawan
Dewa Mara yang jahat, seperti dapat diikuti dalam pembabaran di bawah
ini.
Pada saat itu
muncul Mara, dewa hawa nafsu, yang bermaksud menghalang-halangi pertapa
Gotama memperoleh Penerangan Agung, disertai bala tentaranya yang maha
besar. Bala tentara itu ke depan, ke kanan dan ke kiri lebarnya 12
league dan ke belakang sampai ke ujung cakrawala, sedangkan tingginya 9
league. Mara sendiri membawa berbagai macam senjata dan duduk di atas
gajah Girimekhala yang tingginya 150 league. Melihat bala tentara yang
demikian besar datang, semua dewa yang sedang berkumpul di sekeliling
pertapa Gotama, seperti Maha-Brahma, Sakka, Rajanaga Mahakala dan
lain-lain cepat-cepat menyingkir dari tempat itu dan pertapa Gotama
ditinggal sendirian dengan hanya berlindung kepada sepuluh Paramita yang
sejak lama dilatihnya. Semua usaha Mara untuk menakut-nakuti pertapa
Gotama dengan hujan besar disertai angin kencang dan halilintar yang
berbunyi tak henti-hentinya diikuti dengan pemandangan-pemandangan lain
yang mengerikan ternyata gagal semua dan akhirnya Mara menyambit dengan
Cakkavudha yang ternyata berubah menjadi payung yang dengan tenang
bergantung dan melindungi kepala pertapa Gotama.
Bumi
telah menjadi saksi, bahwa pertapa Gotama lulus dari semua
percobaan-percobaan dan layak untuk menjadi Buddha. Gajah Girimekhala
berlutut di hadapan pertapa Gotama dan Mara menghilang dan lari
bersama-sama dengan bala tentaranya. Para dewa yang menyingkir sewaktu
Mara tiba dengan bala tentaranya datang kembali dan semua bersuka cita
dengan keberhasilan pertapa Gotama.
Setelah
berhasil mengalahkan Mara, pertapa Gotama memperoleh
Pubbernivasanussatinana, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat dengan
terang kelahiran-kelahirannya yang dulu. Hal ini terjadi pada waktu jaga
pertama, yaitu antara jam 18.00 – 22.00.
Pada
waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 – 02.00, pertapa Gotama
memperoleh Cutupapatanaria, yaitu kebijaksanaan untuk dapat melihat
dengan terang kematian dan tumimbal lahir kembali dari makhluk-makhluk
sesuai dengan tumpukan karma mereka masing-masing. Tumpukan karma yang
berlainan inilah yang membuat satu makhluk berbeda dengan makhluk lain.
Kemampuan ini juga dinamakan Dibbacakkunana, yaitu kebijaksanaan dari
Mata Dewa.
Pada waktu
jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 – 04.00, pertapa Gotama memperoleh
Asavakkhayanana, yaitu kebijaksanaan yang dapat menyingkirkan secara
menyeluruh semua Asava (kekotoran batin yang halus sekali).
Dengan
demikian ia mengerti sebab dari semua keburukan dan juga mengerti cara
untuk menghilangkannya. Dengan ini ia telah menjadi orang yang paling
bijaksana dalam dunia yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan
kepadanya. Sekarang ia mendapat jawaban tentang cara untuk mengakhiri
penderitaan, kesedihan, ketidak-bahagiaan, usia tua dan kematian.
Batinnya menjadi tenang sekali dan penuh kedamaian, karena sekarang ia
mengerti semua persoalan hidup dan menjadi Buddha.
Dengan
muka bercahaya terang, penuh kebahagiaan, pertapa Gotama dengan suara
lantang mengeluarkan pekik kemenangan sebagai berikut :
“Anekajati samsarang
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! dittho’si
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.”
Sandhavissang anibbissang
Gohakarakang gavesanto
Dukkha jati punappunang.
Gahakaraka! dittho’si
Punagehang na kahasi
Sabba to phasuka bhagga
Gahakutang visamkhitang
Visamkharagatang cittang
Tanhanang khayamajjhaga.”
Artinya :
“Dengan sia-sia aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putaran dalam lingkaran Tumimbal Lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habisnya
O, Pembuat Rumah, sekarang telah kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah kubongkar
Batinku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”
“Dengan sia-sia aku mencari Pembuat Rumah ini
Berlari berputar-putaran dalam lingkaran Tumimbal Lahir
Menyakitkan, tumimbal lahir yang tiada habisnya
O, Pembuat Rumah, sekarang telah kuketahui
Engkau tak akan dapat membuat rumah lagi
Semua atapmu telah kurobohkan
Semua sendi-sendimu telah kubongkar
Batinku sekarang mencapai keadaan Nibbana
Dan berakhirlah semua nafsu-nafsu keinginan.”
Di
kisahkan bahwa pada saat itu bumi tergetar karena gembira dan di udara
sayup-sayup terdengar suara musik yang merdu; seluruh tempat itu penuh
dengan kehadiran para dewa yang turut bergembira dan ingin melihat orang
yang berhasil mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha; pohon-pohon
mendadak berbunga dan menyebarkan bau harum ke seluruh penjuru;
binatang hutan yang biasanya saling bermusuhan pada waktu itu dapat
hidup berdampingan dengan damai.
Demikianlah
Pangeran Siddhattha yang dilahirkan pada saat purnama sidhi di bulan
Vaisak tahun 623 SM, menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana
pada usia 29 tahun, setelah bertapa selama 6 tahun menjadi Buddha pada
usia 35 tahun.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar